(Seri Kecerdasan Ali bin Abi Thalib)
Dari Imam Ali ra yang menceritakan Ashabul
Kahfi kepada seorang Yahudi yang ingin menguji kecerdasan Imam Ali ra. Apabila
Imam Ali ra tidak bisa menceritakandan menjawab pertanyaannya, maka ia tidak
mau memeluk ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Tiga orang pendeta Yahudi datang menemui Imam Ali ra, mereka ingin menguji kebenaran agama Islam.
Salah seorang berkata, “Wahai Ali, ada satu masalah yang ingin kutanyakan kepadamu.”
Imam Ali ra pun berkata, “Bertanyalah sesukamu!”
Pendeta Yahudi tadi berkata,
“Beritahukan kepadaku tentang sekelompok remaja pada zaman dahulu. Yang mana
mereka mati selama tiga ratus sembilan tahun, lalu Allah hidupkan kembali.
Bagaimana kisah mereka itu?”
Imam Ali ra tersenyum dan mulai
menceritakan keinginan dari pendeta Yahudi tersebut, “Wahai Yahudi, mereka
adalah penghuni gua (Ashabul Kahfi). Allah telah menurunkan atas Nabi kami,
Muhammad saw, al-Quran yang memuat kisah mereka. Kalau engkau mau, akan kami
bacakan kisah mereka di hadapanmu.”
Orang Yahudi berkata, “Betapa
sering aku mendengar bacaan al-Quran. Kalau engkau memang tahu, katakan
kepadaku nama-nama mereka, nama raja, nama anjing, nama gunung, nama gua dan
kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Lalu Imam Ali ra duduk sambil mengangkat
kedua lututnya dengan melilitkan sorban pada kedua lututnya, dengan
sorban
Rasulullah saw, seraya berkata, “Wahai saudara bangsa Arab, kekasihku
Muhammad
saw pernah bercerita kepadaku bahwa di daerah Romawi terdapat sebuah
kota bernama Afsus dan juga dinamakan Thurthus. Nama kota itu di zaman
jahiliyah adalah
Afsus, lalu ketika Islam datang dinamakan Thurthus. Mereka mempunyai
seorang
raja yang saleh. Beberapa waktu kemudian, raja itu wafat, lalu tersebar
berita
kematiannya hingga seorang raja dari Persia yang bernama Diqyanus,
mendengar
berita tersebut. Diqyanus adalah raja yang sangat zalim dan kafir. Dia
datang
bersama bala tentara ke kota Afsus dan menjadikan sebagai kerajaannya,
dan
membangun sebuah istana megah.”
Yahudi itu berkata, “Jika
anda benar-benar tahu, maka jelaskan kepadaku tentang istana itu dan
ruangan-ruangannya!”
Imam Ali ra segera menjawab, “Raja itu
membangun istana dari marmer, panjangnya satu farsakh atau sama dengan 5 hingga
6 km, lebarnya satu farsakh. Di dalamnya terdapat empat ribu pilar dari emas
dan seribu lampu emas, lantainya dari suasa dan setiap malam diisi dengan
minyak wangi yang harum. Ia letakkan di tumur, seratus delapan puluh kekuatan,
demikian juga di bagian baratnya. Matahari dari sejak terbit sampai terbenam
mengitari istana. Ia membuat singgasana dari emas yang panjangnya delapan puluh
hasta dan berhiaskan mutiara. Ia letakkan di sebelah kanan singgasana delapan
puluh kursi emas untuk para panglimanya dan si sebelah kirinya delapan puluh
kursi emas juga. Dia duduk di atas singgasananya sambil mengenakan mahkota di
atas kepalanya.”
Yahudi itu dengan bersemangat
berkata melanjutkan, “Wahai Ali, jika engkau sungguh mengetahui, katakan
kepadaku terbuat dari apa mahkotanya?”
Imam Ali ra menjawab, “Wahai saudara
Yahudi, mahkotanya terbuat dari emas cetakan yang mempunyai sembilan pucuk.
Pada setiap pucuk terdapat lampu yang bersinar laksana lampu yang bersinar di
malam yang gelap. Dia memiliki lima puluh remaja dari anak para panglima.
Mereka berpakaian terbuat dari sutera merah dan celana yang terbuat dari sutera
hijau. Mereka memakai mahkota, gelang tangan dan gelang kaki yang terbuat dari
emas berkilauan. Dia juga jadikan enam pemuda dari kalangan ulam sebagai
menteri-menteri. Dia tidak akan menetapkan satu keputusan tanpa berdiskusi
dengan mereka. tiga orang dari mereka berdiri di sebelah kanan dan tiga orang
di sebelah kiri sang raja.”
Yahudi berkata, “Wahai Ali!
Jika Anda benar, beritahu aku siapa nama enam orang itu?”
Imam Ali ra menjawab, “Kekasihku Muhammad
saw bercerita padaku, bahwa tiga orang yang di sebelah kanan adalah Tamlikho,
Muksalmina, dan Muhsalmina. Sedang yang di sebelah kiri Marthuliyus, Kaythus,
dan Sadaniyus. Raja itu senantiasa meminta pendapat dari mereka dalam segala
urusannya. Jika ia duduk di singgasananya yang mewah setiap hari, orang-orang
pun berkumpul di sekitarnya, maka datanglah tiga pemuda dari sebuah pintu. Di
tangan salah seorang dari mereka terdapat gelas emas yang berisi minyak kesturi
(misk). Di tangan pemuda kedua adalah gelas perak berisi air mawar, serta di
tangan pemuda ketiga bertengger seekor burung yang molek. Jika yang satu
berteriak, maka burung itu terbang menuju gelas yang berisi air mawar, lalu ia
mandi dengan air mawar itu. Bulu dan sayapnya menyerap air mawar yang wangi.
Jika yang kedua berteriak, maka si burung
terbang menuju gelas yang berisi minyak wangi (misk). Burung kecil itu pun
mandi dan menyerap minyak wangi dengan bulu dan sayapnya. Kemudian jika yang
ketiga berteriak, maka burung itu terbang menuju mahkota raja untuk kemudian
mengibaskan bulu dan sayapnya di atas kepala raja.
Raja itu memegang kekuasaannya selama tiga
puluh tahun tanpa pernah mengalami sakit kepala, panas, flu, dan sakit lainnya.
Melihat keadaan dirinya seperti itu, ia menjadi congkak dan angkuh, sehingga
dia mengakui dirinya sebagai tuhan (Rabb). Dia mengajak menteri dan rakyatnya
untuk menyembah kepada dirinya. Setiap orang yang menerima pengakuan dirinya
sebagai tuhan, akan diberi hadiah dan mendapat keistimewaan, sedangkan yang
enggan untuk menerimanya akan disiksa dan dibunuh. Akhirnya mereka tunduk
kepada keinginan sang raja. Menteri dan penjaga istana menganggap dia sebagai
tuhan selain Allah swt.
Suatu hari di saat pesta berlangsung, sang
raja duduk di atas singgasana sambil mengenakan mahkota di atas
kepalanya.
Tiba-tiba muncul beberapa panglima menyampaikan berita, bahwa pasukan
Persia telah siap membunuh raja. Sang raja amat panik, hingga mahkota
yang dikenakannya jatuh
dari atas kepala, sedang ia sendiri terjungkal dari singgasana. Salah
seorang
dari tiga pemuda yang berada di samping raja menyaksikan hal tersebut.
Dia
adalah si cerdik bernama Tamlikho. Pemuda itu berpikir dan berkata dalam
hatinya, “Jika Diqyanus (si raja itu) adalah tuhan seperti yang ia akui
sendiri, pastilah ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak kencing atau
buang
air. Karena semua bukan sifat dari Tuhan.
Setiap hari enam pemuda tersebut selalu
berkumpul di tempat salah seorang dari mereka. Setelah terjadi peristiwa tadi,
mereka tengah berkumpul di tempat Tamlikho, namun Tamlikho tidak ikut makan dan
minum. Mereka bertanya, “Wahai Tamlikho, mengapa engkau tidak makan dan minum?”
Tamlikho menjawab, “Wahai saudara-saudaraku, telah terjadi sesuatu dalam
hatiku, ini yang mencegahku makan, minum dan tidur.
Mereka bertanya, “Apa itu wahai Tamlikho?”
Dia menjawab, “Aku lama sekali berpikir
tentang langit. Aku berkata, “Siapa yang meninggikan
langit menjadi atap yang kokoh tanpa ada pengikat di atasnya dan tanpa tiang
penyangga di bawahnya? Siapa yang menjalankan matahari dan bulan? Siapa yang
menghiasi langit dengan bintang gemintang? Lalu aku lama termenung tentang bumi
ini, siapa yangmenjadikannya terapung di alas permukaan laut? Siapa yang
menahan dan mengikatnya dengan gunung-gunung yang kokoh agar tidak tenggelam?”
Kemudian aku berpikir tentang diriku. Aku
berkata,
“Siapa yang mengeluarkanku
dari rahim ibu? Siapa yang memberiku makan dan membimbingku? Sungguh ada
Pencipta dan Pengatur semua ini selain Diqyanus.”
Lima
pemuda tadi tersungkur ke lantai, mencium kedua kaki Tamlikho dan berkata,
“Wahai Tamlikho, sungguh telah terjadi di hati kami apa yang telah melanda
hatimu. Berilah kami petunjuk!”
Tamlikho berkata, “Wahai saudara-saudaraku,
aku tidak mendapatkan jalan untukku dan untuk kalian, selain lari dari penguasa
zalim menuju Penguasa langit dan bumi.”
Mereka berkata, “Pendapat yang benar adalah
pendapatmu.”
Tamlikho bangkit membeli kurma dengan uang
tiga dirham, lalu menyimpannya di dalam selendang. Mereka naik kuda dan pergi
ke luar kota. Setelah berjalan sejauh tiga mil dari kota, Tamlikho berkata,
“Saudaraku, telah hilang dari kita raja dunia dan kekuasaannya. Turunlah dari
kuda dan berjalanlah, semoga Allah memudahkan urusan kalian dan memberikan
jalan keluar kepada kita.”
Mereka pun turun dari kuda dan berjalan
kaki sejauh tujuh farsakh, sampai kaki mereka berdarah kerena tidak terbiasa.
Tiba-tiba seorang penggembala menghampiri
mereka…
Tamlikho bertanya, “Wahai penggembala,
apakah engkau memiliki seteguk air atau susu?”
Aku punya apa yang kalian inginkan, tetapi
aku lihat wajah kalian adalah wajah-wajah para raja. Menurutku kalian melarikan
diri. Ceritakan pengalaman kalian kepadaku!
Kami memeluk agama yang melarang berbohong.
Apakah kejujuran membuat kami selamat?
Maka mereka pun menceritakan apa yang
mereka alami. Si penggembala langsung tersungkur mencium kaki mereka sambil
berkata, “Sungguh terjadi di hatiku apa yang terjadi di hati kalian.
Si penggembala meminta mereka menunggunya.
Sementara dia mengembalikan kambing-kambing kepada pemiliknya.
Mereka menunggu sampai si penggembala
kembali, tapi kali ini dia kembali dengan diikuti seekor anjing.
Ketika para pemuda itu melihat anjing, satu
sama lain saling berbicara…
Kami khawatir anjing ini akan membuka
rahasia kita dengan gonggongannya.
Mereka minta dengan sangat agar di
penggembala mengusir anjingnya dengan batu.
Anjing itu berwarna hitam pekat dan namanya
Qithmir. Ketika anjing itu melihat gelagat mereka, anjing itu pun lalu duduk
dan dapat berbicara, “Wahai manusia, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal
aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu atas-Nya.
Izinkan aku menjaga kalian dari musuh yang akan mengganggu kalian. Aku ingin
mendekatkan diri kepada Allah dengan hal itu.” Lalu mereka pun mengijinkannya.
Lalu mereka pun melanjutkan perjalanan.
Sang penggembala mengajak para pemuda itu untuk menaiki gunung dan bersembunyi
di dalam sebuah gua.
Orang Yahudi berkata, “Wahai
Ali, apa nama gunung itu dan apa nama gua itu?”
Amirul Mukminin menjawab, “Wahai saudara
Yahudi, nama gunung itu adalah Najlus dan nama gua itu adalah Washid atau
Khairam.”
Imam Ali ra melanjutkan ceritanya,
“Ternyata di dalam gua itu terdapat beberapa pohon yang berbuah dan mata air
yang bening. Mereka memakan buah-buahan dan meminum air tersebut. Ketika malam
tiba, mereka masuk ke dalam gua sedangkan anjing itu duduk di pintu gua, sambil
menjulurkan kedua kaki depannya. Lalu Allah menyuruh malaikat maut untuk
mencabut ruh mereka sementara waktu, dan menugaskan dua malaikat lainnya untuk
menjaga dan mengurus setiap orang dari mereka. Kedua malaikat itu
membalik-balikkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri dan dari kiri ke kanan.
Allah mewahyukan kepada matahari agar pada
saat terbit bercondong dari gua mereka ke sebelah kanan dan ketika terbenam
menjauhi mereka ke sebelah kiri.
Ketika raja Diqyanus kembali dari upacara,
ia bertanya tentang para pemuda itu. Lalu dikatakan kepadanya, bahwa mereka
telah meyakini Tuhan selain Raja Diqyanus. Mereka telah keluar dari istana dan
melarikan diri darinya. Mendengar hal itu, maka raja pergi dengan depalan puluh
ribu pasukan berkuda untuk mencari sang pemuda.
Sampailah sang raja di sebuah gunung dan ia
sendiri yang naik ke atas gunung itu, kemudian mendekati sebuah gua. Raja
melihat para pemuda yang dicari tengah berbaring, dia yakin para pemuda itu
tengah tidur.
Raja berkata kepada anak buahnya, “Kalau
aku hendak menyiksa mereka, aku tidak akan menyiksa lebih dari mereka menyiksa
diri mereka sendiri. Datangkanlah para tukang bangunan!”
Akhirnya mulut gua ditutup dengan batu-batu
dan sang raja berkata, “Katakanlah kepada mereka agar memohon kepada Tuhan
mereka yang berada di langit. Jika benar ada, maka Tuhan mereka akan
mengeluarkan para pemuda itu dari sini.”
Para
pemuda tinggal dan tertidur di dalam gua selam tiga ratus sembilan tahun. Lalu
Allah swt menghidupkan mereka kembali ketika matahari mulai terbit. Satu sama
lain saling berkata, “Sungguh kami telah lalai dari ibadah kepada Allah swt.
Mari kita pergi ke mata air.”
Ternyata mata air dan pohon-pohon telah
kering. Salah seorang berkata, “Sungguh ini adalah hal yang sangat aneh.
Bagaimana mata air seperti ini menjadi kering hanya dalam tempo satu malam,
beitu juga dengan pepohonannya?”
Lalu Allah membuat mereka merasa lapar.
Salah seorang berkata, “Siapa di antara kita yang bisa pergi membawa uang ke kota, membeli sesuatu untuk kita makan?
Hendaknya dia teliti jangan sampai makanan
itu bercampur dengan lemak babi, seperti tercantum dalam firman Allah.
“Maka utuslah seorang dari kalian dengan
(membawa) uang ini ke kota dan lihatlah makanan yang paling bersih.” (QS.
Al-Kahfi: 19)
Yaitu makan yang halal dan enak untuk
dimakan.”
Tamlikho berkata, “Wahai saudara-saudaraku,
aku saja yang membeli makanan itu. Tetapi, wahai penggembala, berikan bajumu
kepadaku dan kenakan bajuku ini.”
Tamlikho mengenakan baju si penggembala dan
berjalan melalui tempat-tempat yang tidak ia ketahui. Ternyata di atas pintu
gerbang kota berkibar bendera hijau yang bertuliskan “Tiada Tuhan selain
Allah dan Isa Ruhullah”. Pemuda itu terpana melihat bendera itu, dan
mengusap-usap matanya seraya berkata, “Apakah aku sedang bermimpi.”
Sesaat berlalu ia memasuki kota, dan melewati sekelompok orang yang tengah membaca kitab Injil. Beberapa orang
menyapanya hingga ia sampai ke pasar dan menemui pedangang roti. Ia berkata,
“Wahai tukang roti apa nama kota ini?”
“Afsus” jawab tukang roti ramah.
Ia bertanya lagi, ”Siapakah rajamu?”
“Abdurrahman”’ jawabnya singkat.
Tamlikho berkata, “Jika Anda benar, sungguh
yang kualami ini sangat aneh. Berikan padaku makanan seharga uang dirham ini.”
Uang dirham yang berlaku pada masa Tamlikho
berat dan besar, sehingga si tukang roti terheran-heran melihatnya.
Orang Yahudi berkata kepada
Ali, “Jika kamu benar-benar tahu, katakan padaku berapa berat dirham itu?”
Imam Ali ra menjawab, “Wahai saudara
Yahudi, kekasihku Muhammad saw memberitahuku, bahwa berat dirham itu sepuluh
kali dari berat dirham saat ini.”
Imam Ali ra melanjutkan, “Tukang roti
berkata kepada Tamlikho, “Wahai pemuda, engkau telah mendapat harta karun?
Berikan sebagian kepadaku, jika tidak Anda akan kubawa kepada raja.”
Tamlikho berkata, “Aku tidak mendapatkan
harta karun. Dirham ini kuperoleh dari hasil menjual buah-buahan seharga tiga
dirham, tiga hari yang lalu. Aku keluar dari kota ini, sementara penghuninya
sedang menyembah raja Diqyanus.”
Oenjual roti pun marah mendengarnya,
“Tidakkah kamu senang mendapat harta karun, lalu memberikan sebagiannya
kepadaku? Mengapa engkau menyebut seorang pengusa zalim yang mengaku dirinya
tuhan? Dia telah mati tiga ratus tahun yang lalu. Anda telah menghinaku!”
Tukang roti menangkap Tamlikho, dan
orang-orang pun berkumpul. Kemudian ia dibawa menghadap sang raja yang cerdas
dan adil, “Apa yang pemuda ini lakukan?”
Mereka pun menjawab, “Orang ini telah
mendapat harta karun.”
Raja berkata, “Tenanglah, Nabi kita Isa as
membolehkan kita mengambil harta karun, tidak lebih dari seperlimanya saja.
Maka serahkanlah kepadaku seperlima dari harta karun tersebut, setelah itu kamu
dapat pergi dengan selamat.”
Tamlikho berkata, “Wahai raja, lihatlah
masalahku ini. Aku tidak mendapatkan harta karun. Aku penduduk kota ini.”
“Kamu penduduk kota ini?” Tanya raja.
“Ya”, jawabnya.
Raja bertanya lagi, “Apa kamu kenal
seseorang di kota ini?”
“Ya”, jawabnya Tamlikho. Kemudian ia
menyebutkan kira-kira seribu orang. Namun tak satupun dari mereka yang dikenal
oleh mereka yang berkumpul.
Sang raja berkata, “Hai, kami tidak ernah
mengenal nama-nama itu. Mereka bukan penduduk zaman ini. Apa kamu punya rumah
di kota ini?”
Tamlikho menjawab, “Ya, wahai paduka yang
mulia. Utuslah seseorang bersamaku!”
Raja kemudian mengutus beberapa orang untuk
pergi bersamanya. Mereka pergi menuju sebuah rumah yang berada di dataran
tertinggi kota itu. Mereka sampai di satu rumah dan lalu mengetuknya. Tidak
lama kemudian keluarlah seorang tua renta, kedua alisnya panjang terurai ke
bawah menutupi kedua matanya.
Pengawal berkata, “Pemuda ini mengaku bahwa
ini adalah rumahnya.”
Orang tua itu marah dan menoleh kepada Tamlikho,
“Siapa namamu?!”
“Tamlikho bin Filsin”, jawab Tamlikho.
Ulangi lagi!
Tamlokho bin Filsin
Kemudian orang tua itu tersungkur menciumi
tangan dan kaki Tamlikho, “Dia adalah kekekku. Dia adalah salah seorang pemuda
yang lari dari Diqyanus, raja yang zalim, menuju Raja langit dan bumi. Sungguh
Nabi Isa pernah mengatakan, bahwa mereka akan hidup kembali di dunia ini.”
Berita tersebut akhirnya sampai ke telinga
raja, ia pun segera mendatangi mereka.
Ketika melihat Tamlikho, raja segera turun
dari kuda dan mengangkat Tamlikho ke atas pundaknya. Orang-orang pun menciumi
tangan dan kaki Tamlikho.
Mereka bertanya, “Hai Tamlikho, apa yang
sedang dikerjakan teman-temanmu? Tamlikho memberitahu bahwa mereka berada di
dalam gua. Pada saat itu kota Afsus dikuasai oleh dua penguasa, penguasa mukmin
dan kafir.
Keduanya lalu berangkat diiringi para
pengikutnya. Ketika mereka mendekati gua, Tamlikho berkata kepada mereka, “Aku
khawatir saudara-saudaraku mendengar suara kaki kuda dan gemerincing senjata,
sehingga mereka anggap Diqyanus telah bersiap menyerang. Mereka akan sangat
ketakutan. Oleh karenanya kalian tinggallah di sini sebentar, biarkan aku masuk
ke dalam untuk memberitahu mereka.
Mereka pun setuju dan Tamlkho masuk menemui
teman-temannya.
Para
pemuda tadi langsung merangkul Tamlikho sambil berkata, “Alhamdulillah.”
Allah swt telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanus!”
Tamlikho berkata, “Tahukah kalian, berapa
lama kita tinggal di tempat ini?”
“Dua hari satu malam”, jawab mereka.
Tamlikho berkata lagi, “Tidak, tetapi
kalian tinggal di sini, tiga ratus sembilan tahun!” Diqyanus kini telah mati.
Waktu demi waktu telah berlalu dan kini penduduk kota telah beriman kepada
Allah Yang Mahabesar.
Mereka berkata, “Wahai Tamlikho, kamu
ingini kita berbuat fitnah (baca: keributan atau prahara) kepada orang-orang
itu?”
Kata Tamlikho, “Lalu apa yang kalian
inginkan?”
Mereka berkata, “Angkatlah tanganmu, kami
akan mengangkat tangan kami.” Mereka semua mengangkat tangan dan berdoa, “Ya
Allah, demi kebenaran yang Engkau tampakkan kepada kami, berupa keanehan dalam
diri kami, cabutlah nyawa kami agar tidak seorang pun mengetahui kami.
Allah swt mengutus malaikat maut untuk
mencabut nyawa mereka. Lalu Allah menutup pintu gua.
Kedua raja itu tidak sabar menanti. Mereka
segera menyusul Tamlikho karena lama.
Dua penguasa tadi mengelilingi gua selama
tujuh hari tujuh malam, namun tidak menemukan pintu atau lubang pada gua itu.
Mereka berdua yakin bahwa itu adalah kebesaran ciptaan Allah Yang Mahamulia,
dan bahwa keadaan ini merupakan pelajaran (‘ibrah) penting yang diperlihatkan
kepada kita semua.
Penguasa yang beriman berkata, “Meraka mati
atas dasar agamaku dan akan kubangun di atas pintu gua ini, sebuah mesjid.”
Sementara penguasa kafir berkata, “Tidak! Mereka mati atas dasar agamaku dan
akan kubangun tempat peribadatan.”
Akhirnya mereka berperang dan penguasa
mukmin mengalahkan penguasa kafir, yang dijelaskan Allah swt: “Dan berkata orang-orang yang menang, akan kami jadikan di
atas mereka sebuah mesjid” (QS. Al-Kahfi: 21).
Itulah kisah mereka, wahai Yahudi.” Lalu
Imam Ali ra berkata, “Aku bertanya kepadamu wahai Yahudi, apakah semua itu
sesuai dengan yang ada di dalam Taurat kalian?”
Orang Yahudi itu berkata,
“Anda tidak menambah dan tidak mengurangi satu kata pun wahai Abul Hasan. Jangan
lagi anda panggil aku Yahudi. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Muhammad
adalah hamba serta utusan Allah, dan anda adalah orang yang paling pandai dari
umat Muhammad ini.”
Hikmah
yang dapat diambil dari kisah ini adalah Allah swt akan menolong orang-orang
yang berbuat baik dan ingin menghancurkan serta meninggalkan kezaliman.
Allah
swt akan selalu menjaga dan mencintai orang-orang yang beriman kepada-Nya dan
kepada utusan-Nya.
Selasa, 10 April 2012
Ashabul Kahfi
22.31
Motivasi